UgikSugiyanto, Diretur PT NRP, mengatakan pasar ini dirancang sangat bagus untuk menjadi fasilitas bagi penghobi pemilihara burung untuk melakukan jual beli burung sekaligus sebagai wadah berkumpulnya para penggemar burung. "Pasar burung Bogorienze akan menjadi yang terbesar dan pertama di Kota Bogor dengan 300 unit kios dan ruko.
National Geographic Indonesia Peta jalur migrasi burung di Nusantara - Mereka adalah para pengembara angkasa yang menempuh perjalanan panjang dan berbahaya. Perubahan cuaca dan menipisnya makanan di daerah asal telah memicu burung-burung ini untuk meruaya ke kawasan khatulistiwa. Indonesia yang sangat luas ini memiliki tiga kelompok burung yang beruaya ke Nusantara. Mereka adalah burung daratan, burung air, dan burung pemangsa. Mereka terbang dari utara khatulistiwa pada bulan September hingga April. Baca Juga Menjadi Saksi Perjalanan Waktu Dubai, Kota Ultramodern yang Terus Berkembang Sementara itu kawanan lain datang dari selatan khatulistiwa pada bulan April hingga September. Setelah lima hingga enam bulan, mereka akan kembali pulang untuk berkembang biak. Pulang kampung ini mereka sesuaikan ketika musim panas datang di negeri asal mereka. Kawasan Sangihe, Sulawesi Utara menjadi salah satu lokasi utama jalur masuknya burung-burung migran dari Jepang dan Semenanjung Korea. Ketika musim gugur tiba di Tiongkok, Francesco Germi dan koleganya mencatat ada ekor elang alap cina yang singgah di Sangihe pada tahun 2007. Baca Juga Meninggal dengan Misterius di Usia 32 Tahun, Inikah Penyebab Kematian Alexander the Great? Leluhur Sangihe memiliki kesaksian atas manu tegi atau burung migran pemangsa yang singgah. Melalui lantunan nada, leluhur Sangihe pun meninggalkan catatannya. Sebuah tembang pun tercipta dengan judul O Karimako yang berarti Oh Seandainya. “Ia kere manu tegi, seng katelae seng karoro sunusange. Marau kere marangi, e saudaraku. Maengbudi ne mapia, tamawuhi baharia.” Saya bagaikan burung tegi, sekali terbang dan hinggap di pulau. Jauh atau pun dekat, hai... saudaraku. Kalau akal budinya baik, tidak akan gampang dilupakan. PROMOTED CONTENT Video Pilihan Waktusaya buka FB ternyata sudah banyak juga para anggota nya yang gemar tentang burung waktu saya buka komunitas ini anggotanya sudah mencapai 1.673 memang sudah menjadi tren teknologi jualan saja sudah dengan online karena memang mudah, cepat, dan kapan saja bisa dilakukan. This article aims to analyze the relationship between state and illegality which taking place at the center, namely in Jakarta. The study becomes significant for examining how mechanisms and relations of non-state and state actors occur. Many ethnographic studies of illegal activities, such as gold mining, logging, and fishing show that such businesses take place on the periphery or border where the state has weak control over such places. Data is conducted by literature study and short field observations. Our case studies of illegal trade in the bird market in Jakarta will question the Weberian perspective which defines the state as a legal and rational institution that will always enforce control in its territory. In this article, we consider the state as a relational arena where it is possible for various actors, both non-state and state actors, to participate in illegal activities through contestations or collaboration to achieve their respective interests or goals. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free JURNAL ANTROPOLOGIISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 JUNE 2020Available online at Antropologi Isu-Isu Sosial Budaya ISSN Online 2355-5963 1 P a g e Attribution-NonCommercial International. Some rights reservedNEGARA DAN ILEGALITAS STUDI KASUS PERDAGANGAN BURUNGDI WILAYAH JAKARTAIndraini Hapsari 1*, Semiarto Aji Purwanto 21 2 Department of Anthropology, Faculty of Social and Political Sciences, Universitas Indonesia, Jakarta, 25th December, 2019Review 06thMarch, 2020Accepted 30th April, 2020Published 1st June, 2020Available Online June, 2020This article aims to analyze the relationship between state andillegality which taking place at the center, namely in Jakarta. Thestudy becomes significant for examining how mechanisms andrelations of non-state and state actors occur. Many ethnographicstudies of illegal activities, such as gold mining, logging, and fishingshow that such businesses take place on the periphery or borderwhere the state has weak control over such places. Data is conductedby literature study and short field case studies ofillegal trade in the bird market in Jakarta will question the Weberianperspective which defines the state as a legal and rational institutionthat will always enforce control in its territory. In this article, weconsider the state as a relational arena where it is possible for variousactors, both non-state and state actors, to participate in illegalactivities through contestations or collaboration to achieve theirrespective interests or illegality; bird trade; center-periphery;Jakarta.* E-mailindrainihapsari PENDAHULUANktivitas perdagangan satwa liar bukanlahsebuah fenomena yang baru. Menurutvan Uhm 2016, sejak peradabanmanusia yang paling awal, aktivitas perda-gangan satwa hidup sudah terjadi, yakni mulaidari masa kekuasaan Firaun di Mesir sampaipara kaum aristokrat di era modern ini. RamsesII sering terlihat bersama dengan peliharaannyaberupa seekor singa dan Julius Caesar jugapernah menerima hadiah berupa seekorjerapah dari Cleopatra 20161. Hal ini menun-jukkan bahwa sejak zaman awal peradabanmanusia hingga dewasa ini, pasar untuk satwa,baik sebagai bahan makanan, bahan pakaian,peliharaan, atau objek hiburan sudah banyakdiminati oleh kalangan-kalangan mengenai pasar hewan, tidaklengkap bilamana tidak membahas mengenaipasar yang ada di kawasan Asia. KawasanAsia merupakan pusat perdagangan satwa liaryang dilindungi yang menjadi sumber, jalurtransit, dan juga pasar hewan langka. KawasanAsia Tenggara sendiri sudah dikenal sebagaipusat perdagangan satwa liar wildlife trade.Indonesia yang memiliki biodiversitas yang tinggimenjadi sumber yang penting di dalam per-dagangan gelap satwa liar yang dilindungi. Kepo-lisian menyebutkan kegiatan ilegal ini mendudukiurutan ketiga kejahatan di Indonesia yangjumlahnya berada di bawah perdagangan narko-tika dan terorisme Tempo 2019 26.Pasar yang menjual satwa liar terbesar diAsia Tenggara terletak di Indonesia, tepatnya dikawasan ibu kota, Jakarta, yaitu Pasar Barito,Jatinegara, dan Pramuka TRAFFIC 2015. Per-dagangan satwa, baik yang legal maupun ilegal,terjadi di tiga pasar tersebut. Pasar Barito yangterletak di Jalan Barito, Jakarta Pusat, terdiri ataskurang/lebih 30 deretan kios yang secara khusus INDRAINI HAPSARI, SEMIARTO A PURWANTO/JURNAL ANTROPOLOGIISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 JUNE 20202 P a g e INDRAINI HAPSARI, SEMIARTO A PURWANTOmenjual burung dan hewan lainnya yangterletak di pinggir jalan. Pasar Jatinegara,Jakarta Timur, terdiri atas kurang/lebih 40 tokoburung permanen yang terletak di kanan dankiri jalan Jalan Kemuning; dan tambahanbeberapa pedagang burung dengan kios yangtidak permanen yang berjualan di depan kiospermanen dan juga di tepian Jalan MatramanRaya. Pasar Pramuka yang telah beroperasisejak tahun 1976 berdiri di atas gedungpermanen yang terdiri atas empat lantai denganratusan kios yang didominasi oleh penjualburung dan juga perlengkapan burung, sepertimakanan dan kandang. Selain menempatigedung utama, ada juga beberapa kios burungpermanen yang terletak di sekitar gedungutama TRAFFIC 2015.Pemaparan mengenai aktivitas perdaga-ngan satwa liar di atas memunculkan perta-nyaan-pertanyaan penelitian. Apakah aktivitasilegal selalu dikaitkan dengan negara yangmemiliki kontrol yang lemah di dalamnya?Apakah dengan memasukkan kontrol negarayang lebih kuat di dalam aktivitas perdagangansatwa ilegal akan mengurangi atau menghi-langkan jumlah aktivitas tersebut? Bagaimanadengan Indonesia sendiri sebagai salah satunegara yang dijadikan sumber penting di dalamperdagangan satwa liar, apakah ini menggam-barkan sistem pemerintahan dan penegakanhukum yang lemah?. Tulisan ini bertujuan untukmenganalisis hubungan antara negara danilegalitas dalam melihat aktivitas perdagangansatwa liar yang terjadi di ibu kota negara danpengawasan yang dilakukan oleh negaraterhadap aktivitas METODE PENELITIANata di dalam artikel ini diperoleh denganmemanfaatkan studi berbagai literaturyang membahas mengenai ilegalitasyang terjadi di Indonesia. Selain melakukanstudi literatur, untuk mendapatkan data me-ngenai praktik ilegalitas di wilayah center,penulis melakukan penelitian empirik dan pe-ngamatan secara singkat. Penelitian empirikyang melihat relasi antara manusia dengankomunitasnya, manusia dengan sumber dayaalam, serta manusia dengan hukum akanmemperlihatkan non-obvious connections anta-ra regulasi-regulasi tertentu dan bagaimanaindividu atau kelompok merespons regulasitersebut Teletsky 2017 120. Penelitian perta-ma dilakukan dengan melakukan wawancaradengan pegiat yang ada di sebuah lembagayang terkait dengan konservasi dan per-dagangan komoditas burung pada bulanAgustus tahun 2019. Dalam penelitian yangkedua, penulis melakukan wawancara danpengamatan singkat di sebuah pasar burung diJakarta pada bulan April dan September perdagangan burung ilegal di sebuahpasar burung di Jakarta dipilih karena selainberkaitan dengan komoditas burung terutamakicau yang tengah menjadi tren di kalanganpecinta burung di perkotaan, juga erat kaitannyadengan lokasi dari pasar tersebut. Lokasipenelitian dipilih karena beberapa seperti yang telah dijelaskan sebe-lumnya, berdasarkan laporan yang dikeluarkanoleh TRAFFIC 2015, beberapa pasar hewan diJakarta menjadi salah satu pasar yang menjualsatwa liar terbesar di Asia Tenggara. Kedua,secara konseptual, lokasi tempat perdaganganburung ilegal yang berada di ibu kota membuatpenulis memikirkan kembali mengenai konsepdan/atau teori mainstream mengenai stateformation yang selama ini dipahami denganmenggunakan kerangka berpikir Weberian. Lo-kasi pasar yang berada di ibu kota juga dapatmembongkar pernyataan yang selama inimengatakan bahwa aktivitas ilegal terjadi diwilayah yang mana negara lemah kontrolterhadapnya Ballard 1997; Tagliacozzo 2005;Erman 2008; Ford & Lyons 2019.C. HASIL DAN PEMBAHASAN1. Kajian Praktik Ilegalitas di Indonesiaeberapa literatur telah menginspirasipenulis dalam penulisan artikel dengan to-pik mengenai relasi antara negara denganaktivitas perdagangan burung ilegal ini. Tinjauanterhadap literatur-literatur juga dapat membuatpenulis menemukan relung yang dapat diisi ataudiperkaya novelty dengan penelitian yang pertama datang dari Erman 2008yang membahas mengenai relasi antara aktor-aktor negara dan para penambang timah ilegal diPulau Bangka. Fokus utama dari tulisan iniadalah melihat bagaimana suatu aktivitas eko-nomi ilegal adalah bukan sekadar persoalanmemberikan label sebagai transaksi yang terdaf-tar atau tidak, tetapi juga mengenai relasi kuasadi antara aktor negara dengan masyarakat dalamusaha untuk mendapatkan akses sumber dayatimah. Erman 2008 juga menjelaskan mengenaialasan mengapa Pulau Bangka menjadi wilayahyang strategis untuk dilakukannya penyelundu-pan terhadap timah. Penyelundupan timah yangbanyak terjadi di Bangka disebabkan oleh kondisigeografis Bangka yang strategis, yakni dikelilingioleh lautan dan pulau-pulau kecil, serta dekatdengan pasar bebas di Singapura dan Penang2008 93. Dengan kata lain, di dalam kontekskasus yang dijelaskan oleh Erman 2008,pertam-bangan ilegal timah di Bangka dapatberlangsung dan berkelanjutan karena lokasinyayang dianggap strategis, yakni di wilayah yang INDRAINI HAPSARI, SEMIARTO A PURWANTO/JURNAL ANTROPOLOGIISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 JUNE 20203 P a g eINDRAINI HAPSARI, SEMIARTO A PURWANTO jauh dari jangkauan negara danberdekatan dengan pasar pengawasan negara juga men-jadi penyebab perdagangan macan tutulSunda, Prionailurus javanensis, yang masihterus berlanjut hingga kini Nijman, dkk. 2019.Pada kasus yang lain, Jepson, dkk. 2011juga melaporkan lemahnya kapasitas negarauntuk meregulasi, absennya organisasi kor-porat besar, serta tidak adanya budaya yangkuat untuk melakukan konservasi satwa liardalam diri masyarakat menjadi faktor terbesarpenghambat sulitnya melakukan konservasiburung-burung liar di Indonesia. Baik tulisanNijman, dkk. 2019 maupun Jepson, dkk.2011 membuat penulis kembali berefleksi,apakah aktivitas ilegal memang berkaitandengan kontrol negara di periferi yang Iskandar dan Iskandar 2015 mengenaikontes burung kicau di Bandung, Jawa Baratdan dampaknya terhadap konservasi burung dialam memberikan penulis gambaran lain me-ngenai keterkaitan antara aktivitas pemeliha-raan, perdagangan, dan kontes burung denganjumlah perburuan burung di alam. Merekamelihat bahwa aktivitas pemeliharaan burung,kontes burung, dan perdagangan burung yangjustru terjadi di perkotaanlah yang mendorongperburuan burung yang tidak terkendali dipedesaan. Sayangnya, mereka tidak secaramendalam menguraikan bagaimana prosesperdagangan burung liar di perkotaan dapatterjadi dan Temuan Empiris di LapanganSelain mengulas beberapa literatur, penulisjuga melakukan pengamatan singkat ke sebuahlembaga konservasi burung dan sebuah pasarburung untuk mendapatkan temuan bulan Agustus 2019, penulis mengunjungisebuah lembaga konservasi yang berfokuspada pelestarian burung-burung liar diIndonesia. Penulis berbincang dengan salahseorang pegiat di lembaga tersebut. Menu-rutnya, upaya konservasi burung langsungberkaitan dengan aktivitas pemeliharaanburung bird keeping dan juga kontes burungbird contest.“Belakangan ini, tren bird keeping dancontest jadi lebih popular lagi diIndonesia. Dulu, aktivitas memeliharaburung lebih banyak dikaitkan dengantradisi Jawa, kukila. Kalau kukila yangdipelihara cuma perkutut. Perkutut jadilambang prestisenya laki-laki ini, alasan orang memeliharaburung sudah mengalami pergeseran;jenis burung yang dipelihara juga lebihberagam. Hampir semua song bird seper-tinya, ya. Selain bird keeping, sekarangkontes burung juga sudah banyak dite-mukan di berbagai daerah di yang dikonteskan juga sangatberagam jenisnya, terutama song bird keeping dan bird contest taditelah menyebabkan peningkatan perbu-ruan burung di daerah-daerah tersebut juga banyak dijualdi perkotaan, bahkan kota besar, sepertiJakarta. Saya pernah mengobrol dengansalah satu petinggi di kantor BKSDA,beliau bilang bahwa pasar itu bagaikansuatu etalase. Burung-burung yang dipa-jang di dalam sangkar yang dilihat olehpembeli, itu cuma sebagian yang muncul balik itu, ada burung-burungkhusus yang hanya dikeluarkan ke seriousbuyer saja.”Catatan lapangan, 28 Agustus 2019Memelihara burung sangat popular dansudah menjadi hobi banyak orang di IndonesiaIqbal 2015132. Burung yang dipelihara keba-nyakan merupakan burung hasil perdaga-nganyang tidak teregulasi karena burung yangdiperdagangkan merupakan spesies yang dilin-dungi. Hal itu membuat beberapa spesies men-jadi terancam punah, seperti murai hijau jawaCissa thalassina, bulbul berkepala jeramiPycnonotus zeylanicus, dan kakatua jambulkuning Cacatua sulphurea 2015132. Meme-lihara burung juga merupakan tradisi yangmelekat pada kebudayaan orang Jawa, olehsebab itu permintaan burung lokal paling banyakadalah dari daerah-daerah di Pulau JawaTRAFFIC, 2015. Bilamana dibandingkan de-ngan pemelihara satwa bukan-burung, rumahtangga yang memelihara burung liar wild-caughtbirds yang termasuk dalam tiga kategorikonservasi burung kicau lokal, burung beo lokal,dan burung kicau impor rata-rata memilikipendidikan yang lebih tinggi serta kondisiperekonomian yang lebih baik. Di sisi lain, rumahtangga yang memiliki burung yang memangsengaja diternakkan secara komersial rata-ratamemiliki kondisi perekonomian yang baik pulanamun tingkat pendidikannya tidak setinggimereka yang memelihara burung-burung liarJepson dan Ladle 2005.Pada bulan September 2019, penulismengunjungi sebuah pasar burung di daerahJakarta. Sejauh pengamatan penulis, burung-burung yang dipajang di sana tidak ada yangmasuk daftar red list atau dikategorikan sebagaiendangered oleh IUCNIUCN The International Union for the Conservation ofNature Red List of Threatened Species dikenal juga sebagai INDRAINI HAPSARI, SEMIARTO A PURWANTO/JURNAL ANTROPOLOGIISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 JUNE 20204 P a g e INDRAINI HAPSARI, SEMIARTO A PURWANTOseorang pedagang pakan burung terungkapbahwa ada burung-burung tertentu yangmemang sengaja tidak dipajang oleh penjual dipasar tersebut, salah satunya adalah jalak putihAcridotheres melanopterus. Selain mence-ritakan soal keberadaan burung-burung khusustersebut, informan juga mengatakan bahwapetugas BKSDA Balai Konservasi SumberDaya Alam yang bertugas di pasar tersebutjumlahnya sangat sedikit dan sangat jarangpula melakukan pengawasan. Informan jugamengatakan bahwa jaringan perdaganganburung ilegal yang terjadi di pasar tersebut jugadiduga kuat melibatkan oknum aparatur Negara Hukum yang Legal dan RasionalSetiap tahun, The World Justice ProjectWJP, mengeluarkan sebuah peta dunia yangberisikan indeks peraturan hukum negara-negara di dunia. Tujuan mereka antara lainadalah mengevaluasi tingkat ketaatan warganegara pada peraturan. Indonesia menjadisalah satu negara yang diwakili oleh warnamerah muda, yang menunjukkan tingkatketaatan terhadap peraturan hukum berupaya meningkatkan tingkat ketaatannegara-negara di dunia pada peraturan hukumkarena mereka yakin bahwa hal itu dapatmengurangi angka korupsi, melawan kemis-kinan dan penyakit, serta memproteksimasyarakat dari ketidakadilan. Peraturan hukumjuga merupakan dasar dari keadilan, ke-sempatan, serta kedamaian di dalam masya-rakat yang dapat menjadi penyokongpembangunan, pemerintahan yang akuntabel,serta penghargaan terhadap hak-hak funda-mental manusia. Dengan demikian, menurutWJP, tujuan dari kebijakan pembangunanadalah untuk memberikan stimulasi kepadanegara-negara di dunia agar dapat melaluiproses evolusi menuju indeks kuartil yangmenunjukkan masyarakat yang lebih taat padaperaturan. McCarthy 2011 92 mengatakan,“The governance discussion places the rule ofIUCN Red List atau Red Data List dibentuk pada 1964sebagai inventarisasi konservasi global yang menanganimasalah spesies biologi. IUCN merupakan pemegangotoritas terbesar dunia yang berspesialisasi dalammenentukan status konservasi dari suatu putih Acridotheres melanopterus termasuk salahsatu burung yang dilindungi berdasarkan daftar lampiranyang dikeluarkan dalam PP Tahun 1999 tentangPengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa serta tertuangdalam Undang-Undang No 5 Tahun 1994 ini dinyatakanberstatus kritis atau “critically endangered” oleh IUCN.Sumber detail/read/jalak-putih-burung-endemik-berstatus-kritisDikutip dan disunting dari diakses pada 24 Mei2019, pukul WIB.Dikutip dan disunting dari diakses pada 24 Mei2019, pukul WIB.law’ alongside democracy, a free press, and fairelection as critical achievements of modernity.”Kalimat ini, menurut penulis adalah awal bagiupaya untuk menjelaskan keterkaitan antarapemerintahan governance dan penegakan hu-kum di dalam lingkup pemerintahan itu Weber 1978 217 tipe ideal daridominasi terlegitimasi yang ditemukan di dalammasyarakat modern adalah otoritas yang legaldan rasional rational grounds. Dalam rezimdominasi legal-rasional ini, setiap bagian darihukum secara esensial berada di dalam sebuahsistem yang konsisten yang terdiri atasperaturan-peraturan yang abstrak yang dibuatsecara sengaja. Bentuk dominasi yang legal-rasional menjadi dasar negara modern. Weberjuga mengatakan bahwa negara merupakansebuah komunitas manusia yang dengansukses mengklaim monopoli terhadap hak untukmenentukan apa yang legal dan ilegal di dalamteritorinya Cribb 2011 31. Pada negara-negaraBarat, hukum tertulis dan keputusan pengadilandianggap berasal dari masyarakat itu begitu, Moustaira 2017304 mengata-kan bahwa karakter mistik dan religius daripondasi hukum sering kali diabaikan atau bahkanditolak karena dianggap bertentangan denganasumsi positivis yang legal dan juga demikian, konsep dari legalitassendiri sebenarnya inheren di dalam konsepmodern mengenai negara. Negara dapatmendefinisikan apa yang legal atau ilegal danmenanamkan dasar perbedaan tersebut di dalamlegitimasinya Aspinall dan van Klinken 2011 2.Aspinall dan van Klinken 2011 juga mentakanbahwa negara-negara yang tergabung di dalamPerserikatan Bangsa Bangsa PBB juga menga-dopsi definisi negara Weber sebagai landasanlegitimasinya, yakni bahwa negara memilikikuasa untuk menegakkan hukum dan bila perlumenggunakan kekerasan untuk mencapai tujuantersebut 2011 2.4. Negara dan Paradoks NeoliberalismePerdagangan satwa ilegal, selain membawakerusakan pada lingkungan alam, juga mem-bawa penulis pada pertanyaan mengenai posisidan peran negara. Dari pernyataan McCarthy2011 90, “While state failure in environmentalmanagement contributes to environmental de-cline, it also brings up the very question of thestate,” penulis melanjutkan dengan pertanyaan,apakah kegagalan negara dalam mengatasi ataumengurangi jumlah aktivitas perdagangan satwailegal merupakan suatu gejala dari pemerintahanyang tidak baik? Apakah pemerintahan yang baikgood governance ditandai dengan sistemnegara yang kuat?Sistem pemerintahan yang baik merupakansuatu kunci pemerintahan yang modern dan INDRAINI HAPSARI, SEMIARTO A PURWANTO/JURNAL ANTROPOLOGIISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 JUNE 20205 P a g eINDRAINI HAPSARI, SEMIARTO A PURWANTO syarat yang krusial bagi demokrasidi era neoliberal. Secara global, neoliberalismemuncul sebagai rangkaian perubahan danpergeseran di dalam ekonomi-politik duniapada tahun 1970-an dan 1980-an Nevins danPeluso 2009 9. Di Asia Tenggara sendiri,runtuhnya pemerintahan presiden IndonesiaSoekarno yang menyebabkan dukungan Ame-rika Serikat dan Inggris pada masa Indonesiadalam krisis 1965-1966 dan perang Vietnammenjadi momen yang penting di dalam kemun-culan neoliberalisme 2009 9.Merujuk pada von Mises yang menyatakanbahwa neoliberalisme merupakan kebangkitanekonomi liberal laissez-faire di abad kesembilan belas, Graeber 2015 10 menya-takan bahwa gagasan mengenai pasar harusbertentangan dan independen dari neoliberal atau ekonomi liberal laissez-faire di abad kesembilan belas tersebut yangmenjadi titik tolak Graeber dalam melihat “sisilain” asumsi tersebut. Alih-alih pasar bekerjasecara lebih efisien tanpa campur tangan daribirokrasi pemerintahan, Graeber justru melihatadanya suatu paradoks di era campur tangan pemerintah didalam proses ekonomi ternyata berakhirdengan diproduksinya regulasi, birokrasi, dankebijakan yang lebih banyak 2015 19.Sejalan dengan itu, Nevins dan Peluso2009 mengatakan bahwa karakteristik par-tikular dari negara-negara di Asia Tenggarayang otoritarian berpengaruh di dalam prosespembangunan pasca kolonialisme. Negara-negara otoritarian di Asia Tenggara telahmemainkan peran yang penting di dalammenginisiasi, menjaga, dan memagarienclosure berbagai sumber daya alam, baikitu tanah, mineral, perikanan, yang ditujukansebagai akumulasi swasta dan juga negara2009 3. Proses ini melibatkan apropriasilahan, sumber daya, dan manusia, kemudianmengubah itu semua menjadi suatu komoditasagar akumulasi kapital dapat dilakukan 20093. Merujuk pada Vandergeest dan Peluso1995, proses tersebut juga dapat dikatakansebagai teritorialisasi, yaitu “...the attempt by anindividual or group to affect, influence, orcontrol people, phenomena, and relationshipsby delimiting and asserting control over ageographic area’’ 1995 388. Proses terito-rialisasi dimaknai sebagai suatu proses yangdilakukan oleh negara modern untuk membagiwilayah menjadi zona-zona politik dan ekonomiyang kompleks serta saling tumpang tindih,mengatur kembali penduduk dan sumber dayadalam zona-zona tersebut, dan membuataturan yang membatasi bagaimana dan olehsiapa wilayah tersebut dapat dimanfaatkanOktayanty 2014 85.Mencermati kasus perdagangan burung ilegaldi atas dengan sistem pemerintahan di AsiaTenggara, khususnya Indonesia, maka peme-rintah seharusnya menerapkan kontrolnyaterhadap aktivitas tersebut. Pemerintah Indo-nesia telah menetapkan keanekaragaman hayatimana yang dianggap dilarang dan diperbolehkanuntuk diperjualbelikan melalui Undang-UndangNomor 5 Tahun 1990 tentang KonservasiSumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnyaserta regulasi turunannya, yakni PeraturanMenteri Lingkungan Hidup dan KehutananNomor 20 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhandan Satwa yang Dilindungi. Dengan kata lain,pemerintah telah melakukan pemagaran enclo-sure Nevins dan Peluso 2009 atau praktikteritorialisasi Vandergeest dan Peluso 1995,dalam hal ini kepada jenis satwa status suatu satwa sebagai dilindungiatau dilarang diperjualbelikan telah menandakanbahwa negara memiliki kuasa dalam menerap-kan kontrol dan manajemen terhadap sumber-daya alam yang ada di dalam Negara dan Praktik IlegalitasDiskusi mengenai keterkaitan antara negaradan legalitas sebelumnya membawa penulisterhadap diskusi mengenai negara dan mendasarkan pemikiran menggunakankerangka negaranya Weber, maka aktivitas yangdikatakan sebagai ilegal jelas dikatakan sebagaisesuatu yang tidak dapat diterima karenamelanggar hukum dari negara. Ilegalitas dapatdikatakan sebagai efek dari negara karenamelalui narasi dari ilegalitas tersebut, secaraparadoksal kita dibawa untuk membayangkanaktor-aktor yang berada di dalam negara sebagaijawaban dari ilegalitas tersebut. Dengan katalain, bilamana kita melihat aktivitas ilegal sebagaisuatu bentuk pelanggaran hukum, maka jawabandari hal itu adalah dengan memasukkanintervensi dan reformasi pemerintahan untukmenguatkan kapasitas negara dalam mengura-ngi ilegalitas tersebut McCarthy 2011 93.Selanjutnya, McCarthy 2011 93 mempertanya-kan, bilamana berpegang pada asumsi negarasebagai sebuah bentuk komunitas legal-formalseperti yang telah dijabarkan, mengapa kasusilegalitas masih banyak terjadi?Berenschot dan van Klinken 2018 100pernah mengatakan bahwa birokrasi di Indonesiatidak beroperasi sebagai sebuah institusi yangterikat pada peraturan, laiknya yang digam-barkan oleh Weber di dalam mengaplikasikanhukum dan regulasinya. Di Indonesia, juganegara-negara lain di dunia, keterlibatan aktor-aktor negara dalam aktivitas ilegal merupakansesuatu yang sudah diketahui masyarakat umumdan tersebar di mana-mana Aspinall dan van INDRAINI HAPSARI, SEMIARTO A PURWANTO/JURNAL ANTROPOLOGIISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 JUNE 20206 P a g e INDRAINI HAPSARI, SEMIARTO A PURWANTOKlinken 2011 2. Keterlibatan aktor-aktor ne-gara di dalam aktivitas kriminal dalam suatuorganisasi yang besar, seperti dalam peme-rasan, penyelundupan, penebangan liar, danperdagangan narkotika berdampak pada pan-dangan terhadap ilegalitas yang sering kalidilihat sebagai sesuatu yang terlegitimasi olehsebagian masyarakat 2011 4. Dengandemikian, aktivitas ilegal yang dilakukan olehaktor-aktor negara akan lebih baik dipahamibukan sebagai suatu penyimpangan dari carakerja negara yang normal, melainkan sebagaibagian dari logika negara itu sendiri Aspinalldan van Klinken 2011 19.Alih-alih menggunakan kerangka berpikirnegara yang diajukan oleh Weber, McCarthy2011 menyarankan agar kita bisa memilihpendekatan lain yang memungkinkan untukmembongkar oposisi antara legal dan ilegal,serta memberikan perhatian terhadap ketidak-cocokan antara logika hukum negara denganpraktik sehari-hari masyarakat. Pendekatantersebut harus menunjukkan peran dariilegalitas di dalam konteks yang lebih luas, dimana ilegalitas tersebut menjadi bagian darilogika dasar dari relasi politik yang sebenarnyadapat menyokong relasi tersebut 2011 94.Pendekatan teori sosial terhadap negara danhukumnya mengisyaratkan bahwa hukumsendiri merupakan refleksi dari suatu relasikuasa 2011 94. Sebelumnya, Heyman danSmart 1999 juga sudah menekankan bahwahukum negara telah menciptakan zona-zonaambiguitas dan ilegalitas itu sendiri. Studiempiris mengenai negara dan ilegalitasmemungkinkan untuk melampaui asumsi yangmengatakan bahwa negara selalu menegakkanhukum di dalam teritorinya 1999 1.Aspinall dan van Klinken 2011 menawar-kan sebuah pendekatan, yakni relasional-strategis strategic-relational approach untukmempelajari keterlibatan aktor-aktor negara didalam suatu aktivitas ilegal yang banyak terjadidi Indonesia. Pendekatan ini melihat bahwaaktivitas ilegal yang dilakukan oleh aktor negaraakan lebih baik dipahami sebagai sebuahproduk dari strategi kompetitif di antarakepentingan-kepentingan dan aktor-aktor yangheterogen yang berada dalam negara 201110. Pendekatan ini sebenarnya merupakannomenklatur alternatif yang berasal daripendekatan yang dibunyikan oleh Migdal2001, yakni pendekatan menekankan bahwa negara bukanmerupakan suatu objek’, melainkan sebuaharena telah dijelaskan dalam pemaparanmengenai pendekatan relasional-strategis danstate-in-society di atas, studi mengenai negarakini harus dimasukkan ke dalam studimengenai masyarakat. Ahli antropologi,ilmuwan politik, dan lainnya harus bisa lebihpeka dalam melihat aktor-aktor negara yangberkolaborasi dengan masyarakat padaumumnya, sering kali sampai pada titik di manabatas yang memisahkan antara negara denganmasyarakat menjadi kabur atau bahkanterhapus, terutama pada level lokal Aspinall danvan Klinken 2011 12.Banyak ilmuwan dan aktivis yang memahamiistilah “ilegal” sebagai label yang diasosiasikandengan hal yang negatif. Di dalam kontekstulisan ini, penulis sepakat dengan pandanganThomas dan Galemba 2013 yang memahami“ilegalitas” sebagai sebuah kategori sosial,subjektif, politis, dan spasial yang diproduksi2013 211. Bilamana menyitir dari pernyataanNicholas De Genova 2004, “There is [often]nothing matter-of-fact about illegality.” Label legalatau ilegal menggambarkan sebuah relasi antaraaktivitas perdagangan dengan suatu hukumnegara Bruns dan Miggelbrink 2012 11.Dengan kata lain, baik perdagangan yang legalmaupun ilegal merupakan dampak dari regulasiyang dibuat oleh dalam kasus perdagangan satwa ilegal diIndonesia, bila melihatnya hanya sebagai bentukpelanggaran hukum yang bisa diatasi dengankontrol negara, maka itu akan mengaburkanpersoalan penting lainnya. Indonesia, tepatnya dikawasan Jakarta, adalah tempat di mana pasaryang menjual hewan liar terbesar di AsiaTenggara berada. Pasar-pasar tersebut ter-golong sebagai pasar resmi yang mengantongisurat izin dari pemerintah setempat. Terletak diibu kota, seharusnya negara memiliki kontrolpenuh terhadap aktivitas yang terjadi didalamnya. Namun demikian, perdagangan satwailegal masih dilakukan. Apakah kita masih bisamengatakan bahwa negara yang lemah kontrolmenjadi alasan utama berlangsungnya aktivitasperdagangan satwa ilegal di dalam pasar-pasarresmi tersebut? Dengan demikian, aktivitas-aktivitas ilegal, dalam hal ini adalah perdagangansatwa ilegal yang terjadi adalah bukan serta-merta menggambarkan bentuk pelanggaranhukum McCarthy 2011. Aktor-aktor negarayang terindikasi terlibat di dalam aktivitas ilegaltersebut, bukan juga merupakan bentukpenyimpangan dari cara kerja negara yangnormal Aspinall dan van Klinken 2011. Aktivitasperdagangan satwa ilegal, baik yang melibatkanaktor negara atau tidak, yang terjadi di dalamteritori sebuah negara merupakan epitome darinegara itu sendiri. Negara bukanlah sebuahentitas ideologis tetap yang berdiri di sebuahruang hampa, tetapi merupakan sebuah arenarelasional tempat berbagai tekanan sosialberkelindan satu sama lain melalui material atausimbol-simbol, saling berkompetisi mempere-butkan supremasi melalui perjuangan danakomodasi, pertentangan, dan koalisi Migdal2001 107. INDRAINI HAPSARI, SEMIARTO A PURWANTO/JURNAL ANTROPOLOGIISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 JUNE 20207 P a g eINDRAINI HAPSARI, SEMIARTO A PURWANTO Menguji Praktik Ilegalitas di WilayahCenterPenulis belajar dari Tagliacozzo 2005 5mengenai undertrading, yaitu pergerakancontraband dalam jumlah yang besar atau, “thepassage of goods underneath, or at the legaland geographic interstices of, the majority ofitems being traded in this arena”. Undertradingbiasanya berlangsung di tiga tempat, yakni diperbatasan atau wilayah periferi yang jauh daripandangan dan jangkauan negara; di naturalchoke point seperti jalan setapak menujuwilayah pegunungan atau jalan air yang sempit,tempat yang biasanya tidak dilewati jalurperdagangan karena wilayah geografis yangsulit dilalui; dan di dalam hiruk-pikuk perkotaantempat negara disibukkan dengan aktivitas-aktivitas lain yang berjalan bersamaan 20055. Perdagangan burung ilegal yang dilakukandi ibu kota membuat penulis berefleksi terhadaptulisan tersebut. Pasar burung terbesar diJakarta bukan berada di wilayah perbatasanatau periferi yang jauh dari pandangan danjangkauan negara. Tidak juga di natural chokepoint. Apakah aktivitas perdagangan burungilegal di Jakarta disebabkan karena “negaraterlalu sibuk dengan aktivitas-aktivitas lain yangberjalan bersamaan”? Beberapa literatur yangmenjelaskan masalah aktivitas ilegal, sepertipertambangan liar, penangkapan ikan ilegal,dan penebangan hutan liar biasanya dilakukandi dua tempat ideal yang disebutkan olehTagliacozzo 2005 di atas, yakni wilayahperiferi atau natural choke point. Selainmempersoalkan masalah the nature of the statesebagai sebuah institusi legal-rasional yangselalu menegakkan hukum di dalam teritorinya,penulis juga akan memunculkan pertanyaanmengenai jaringan dari perdagangan burungilegal yang terjadi di wilayah center 2015 mengatakan bahwastudi etnografi yang terkait dengan ekologipolitik sebagian besar dilakukan di wilayahpedesaan atau agraris 2015 140. Sekarang,kita juga harus memberikan perhatian tentangbagaimana pusat institusi dan kuasa negaramemengaruhi relasi-relasi kuasa yang ada diwilayah pedesaan atau pinggiran 2015 140.Studi mengenai pusat institusi dan kuasanegara tersebut memberikan pemahamanetnografis yang lebih mendalam mengenaimekanisme birokrasi yang mendorong danmengorganisasikan diskursus-diskursus peru-bahan lingkungan 2015 140. Perdaganganburung ilegal di wilayah yang dianggap lebihdekat dengan pusat pemerintahan membuatpenulis memikirkan kembali mengenaikompleksitas mata rantai jaringan perdagangandi dalamnya. Van Schendel dan Abraham2005 mengatakan bahwa penglihatan negarayang astigmatik terhadap wilayah zomia wilayahyang jauh dari kontrol negara akan berimplikasipada negara yang selalu paranoid terhadapkondisi yang obscure tersebut. Biasanya,kegelisahan atau paranoia negara terhadap hal-hal tersebut digambarkan melalui prosespengamanan yang ketat 2005 23.Bilamana van Schendel dan Abraham 2005mengatakan bahwa negara memiliki paranoiaterhadap wilayah periferi sehingga ia cenderungterobsesi untuk menguatkan kontrol di wilayahtersebut, Ballard 1997 mengatakan halsebaliknya. Di dalam komunitas lokal yangterletak di wilayah-wilayah frontier yang jauh daripusat pemerintahan yang terdapat di Asia-Pasifik, Afrika, dan Amerika Selatan, klaimnegara terhadap pengawasan dan penguasaansumber daya alam, terutama sumber dayamineral, kerap kali dilihat secara skeptis ataubahkan ditolak keberadaannya. Hal tersebutdisebabkan karena absennya keberadaannegara di dalam wilayah-wilayah tersebut. Lebihjauh, ia mengatakan bahwa ketika kehadiraninstitusi negara hanya sedikit atau bahkan absensama sekali, baik secara material maupunsimbolis, di wilayah yang jauh dari pusatpemerintahan, kemampuan negara untukmenegakkan kedaulatan atau suaranya diwilayah-wilayah tersebut menjadi dipertanyakankembali Ballard dan Banks 2003 296. Ford danLyons 2019 juga mengatakan bahwamempelajari ilegalitas adalah hal yang penting didalam konteks Indonesia. Mereka mengatakanbahwa aktivitas-aktivitas ilegal yang palingmenyolok mata terjadi di wilayah periferi di manaagensi-agensi pemerintah sering kali kesulitanuntuk mengawasi praktik-praktik ilegal yangmuncul. Bagi Miswanto dan Arfa 20164, salahsatu faktor yang mendorong terjadinya ilegalitasadalah karena kondisi geografis Indonesia yangluas sehingga menyulitkan aparat negara untukmemberantas aktivitas tersebut 2016 4.Dari pernyataan van Schendel dan Abraham2005, Ballard 1997, serta Ford dan Lyons2019 mengenai kehadiran negara danpengaruhnya di wilayah periferi, penulis mengin-dikasikan kemungkinan terjadinya praktik ilegali-tas yang melibatkan aktor negara di dan analisis penulis menunjukkan bahwaterjadinya praktik ilegal di wilayah yang dekatdengan pusat pemerintahan dimungkinkan terjadikarena adanya jalinan para aktor, baik aktor non-negara maupun negara, yang terlibat di dalamjaringan perdagangan komoditas ilegal barang gelap tidak terjadi diwilayah antah-berantah atau ruang hampa, tetapiterjadi di suatu teritori yang dinamakan sebagainegara. Kontrol terhadap suatu teritori secaraintrinsik berhubungan dengan karakte-ristiknormatif dari negara modern yang berhak INDRAINI HAPSARI, SEMIARTO A PURWANTO/JURNAL ANTROPOLOGIISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 JUNE 20208 P a g e INDRAINI HAPSARI, SEMIARTO A PURWANTOmemonopoli kekerasan yang terlegitimasi untukmenegakkan hukum. Untuk bermain denganrapi, mata rantai jaringan perdagangan ilegal diperkotaan mengisyaratkan rangkaian yanglebih panjang dan melibatkan lebih banyakaktor yang heterogen di KESIMPULANraktik ilegalitas terjadi di berbagaiwilayah di Indonesia, terutama di wilayahperiferi atau frontier. Wilayah tersebutpotensial sebagai lokasi terjadinya praktikilegalitas karena negara dianggap sering kalimemiliki kontrol yang lemah di dalamnya. Studimengenai perdagangan burung ilegal di sebuahpasar burung di Jakarta ini menunjukkan bahwapraktik ilegalitas juga berlangsung di wilayahcenter, yakni lokus yang sering diasumsikanbahwa negara memiliki kuasa yang kuat didalamnya. Dari perspektif negara Weberian,praktik ilegalitas di wilayah center danketerlibatan aktor negara merupakan penyim-pangan dari negara sebagai institusi legal danrasional. Akan tetapi, sebagaimana diungkapAspinall dan van Klinken 2011 serta McCarthy2011, praktik ilegalitas tersebut merupakanbagian yang membangun logika negara itusendiri. Dengan melihat negara sebagai sebuaharena kekuasaan Migdal 2001; Aspinall danvan Klinken 2011, dapat dipahami bahwa lokusterjadinya praktik ilegalitas merupakan sebuaharena yang di dalamnya terdapat berbagai aktor,yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapaikepentingan masing-masing, baik sendiri-sendiriatau UCAPAN TERIMA KASIHcapan terima kasih penulis sampaikankepada Irwan Hidayana dan Suraya Afiffdari Program Pasca Sarjana, Departe-men Antropologi, Universitas Indonesiaatas fasilitasi dan diskusi selama penulisanartikel. Terima kasih juga diucapkan kepadasemua pihak yang telah berkontribusi, baiksecara materiil maupun moril, dalam prosespenulisan artikel ini yang tidak dapat penulissebutkan satu per PUSTAKAAspinall, E., & G. Van Klinken. 2011. The State and Illegality in Indonesia. Aspinall, E., & G. VanKlinken eds. The State and Illegality in Indonesia. Leiden KITLV C., & G. Banks. 2003. Resource Wars The Anthropology of Mining. Annual ReviewAnthropology, 32-, pp. W.,& G. Van Klinken. 2018. Informality and Citizenship The everyday state inIndonesia. Citizenship Studies, 222, pp. B., & J. Miggelbrink. 2012. Subverting Borders Doing Research on Smuggling and Small-Scale Trade. Wiesbaden VS R. 2011. A system of exemptions Historicizing state illegality in Indonesia. Aspinall, E. & Klinken eds. The State and Illegality in Indonesia. Leiden KITLV Genova, N. 2004. The Legal Production of Mexican/Migrant “Illegality”. Latino Studies 2, pp. E. 2008. Rethinking Legal and Illegal Economy A case study of tin mining in Bangka Island,pp. M., & L. Lyons. 2019. The Illegal as Mundane Researching border-crossing practices inIndonesia’s Riau Islands. Routledge, pp. & A. Smart. 1999. States and Illegal Practices An Overview. Heyman, ed.States and Illegal Practices. Oxford and New York J., & Iskandar. 2015. Pemanfaatan Aneka Ragam Burung dalam Kontes BurungKicau dan Dampaknya terhadap Konservasi Burung di Alam Studi kasus di Kota Bandung,Jawa Barat. PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON, 14, pp. M. 2015. Looking at Online Bird Trading in Indonesia A Case Study from South ASIA, 24-, pp. P., dkk. 2011. Assessing market-based conservation governance approaches a socio-economic profile of Indonesian markets for wild birds. Flora & Fauna Internasional, Oryx, 454,pp. 482-491. INDRAINI HAPSARI, SEMIARTO A PURWANTO/JURNAL ANTROPOLOGIISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 JUNE 20209 P a g eINDRAINI HAPSARI, SEMIARTO A PURWANTO P., & Ladle. 2005. Bird-Keeping in Indonesia Conservation impacts and the potentialfor substitution-based conservation responses. Oryx, 394, pp. 2011. The limits of illegality State, governance, and resource control in E. & G. Van Klinken eds. The State and Illegality in Indonesia. Leiden KITLV J. 2001. State in Society Studying how states and societies transform and constitute oneanother. Cambridge Cambridge University & Arfa, D. 2016. Perdagangan dan Penyelundupan Pekerja Migran Indonesia Antropologi Isu-isu Sosial Budaya, 181, pp. 2017. Narratives of Laws, Narratives of ed. ComparativeLaw and Anthropology. Glos, UK Edward Edgar Publishing LimitedNevins, J., & Peluso. 2009. Taking Southeast Asia to Market Commodities, nature, and peoplein the neoliberal age. Selangor, Malaysia Strategic Information and Research DevelopmentCentre SIRD.Nijman, V., dkk. 2019. Dynamics of illegal wildlife trade in Indonesian markets over two decades,illustrated by trade in Sunda Leopard Cats. Biodiversity Conservacy International, pp. Y. 2014. Dari Hutan Adat Kalawa ke Hutan Desa Sebuah Teritorialisasi Negara BerbasisMasyarakat. Jurnal Antropologi Isu-isu Sosial Budaya 161, pp. E. 2005. Secret Trades, Porous Borders Rademacher, A. 2015. Urban Review of Anthropology, 44-, pp. Harapan. 2016. Jalak Putih, Burung Endemik Berstatus Kritis. Available online from May 24, 2019.Teletsky, A. 2017. Legal Pluralism Linking Law and Culture in Natural Resource Co-Managementand Environmental Compliance. Nafziger, ed. Comparative Law and UK Edward Edgar Publishing Majalah. 2019. Satwa Ilegal Taman Safari Lembaga konservasi terbesar di Indonesiadiduga terlibat dalam perdagangan ilegal hewan dilindungi edisi 8-14 April 2019.Thomas, K., & Galemba, 2013. Illegal Anthropology An Introduction. PoLAR Political andLegal Anthropology Review, 362, pp. Report. 2015. In the Market for Extinction An inventory of Jakarta’s bird markets. SelangorSeptember 2015.Vandergeest, P.,& N. Peluso. 1995. Territorialization and the State Power in andSociety, 243, pp. Schendel, W., & I. Abraham. 2005. Illicit Flows and Criminal Things States, Borders and theOther Side of Globalization. Bloomington, IN Indiana University Uhm, 2016. The Illegal Wildlife Trade Inside the World of Poachers, Smugglers andTraders. Switzerland Springer International M. 1978. Economy and Society An outline of interpretive sociology. Berkeley University ofCalifornia Justice Project. 2019. WJP Rule of Law Index. Available online from Accessed May 24, 2019. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this trade is recognised as an impediment to conservation. Yet, long-term trade data are lacking for many species, precluding analysis of trends and trade dynamics. The Sunda Leopard Cat is endemic to insular Southeast Asia, where despite legal protection, it is openly traded. Data from Java and Bali 1996–2018, 393 surveys, 219 cats recorded in 21 markets reveal that numbers of cats decreased in the 1990s, in the 2010s and their prevalence decreased from 46% to 30% of surveys recording cats. Invariably in the animal markets other protected wildlife was for sale, even if Sunda Leopard Cats were not present. Corrected for inflation, prices were higher in recent years US$59 vs US$26 and higher in markets with low availability, possibly indicating an Anthropogenic Allee Effect whereby a premium is paid for rare species. Direct comparisons between markets reveal a complicated pattern with evidence of a significant decrease from only one market, but clear shifts of the trade between markets. Despite legal protection, we conclude that leopard cats are still commonly traded in Java, alongside other protected wildlife, albeit in smaller numbers than pdf is available upon request to jmheyman . Lays out a fundamental groundwork for the study of the interplay of states and illegal practices. Rather than thinking of state legality and illegal practices as polar opposites, we approach them with an open inquiry as to their mutual constitution, interactions, and in some cases interpenetration. The role of illegal practices in capital accumulation is also of studying illegal behaviour are important in the context of Indonesia, a country well known for its failure to deal adequately with the corruption that permeates every level of society. They are perhaps even more salient at the peripheries of the nation-state where government agencies struggle to contain the illegal practices that necessarily emerge where nation-states meet. This article reflects on our experiences conducting a decade-long study of an Indonesian borderlands that, while not initially focused on illegality, came – as a consequence of its ubiquity – to include it as a key construct. This experience led us to grapple not only with methodological questions about how to research illegality but also with assumptions about what illegality is and does. We argue that the only way to recognise and account for the quotidian nature of many kinds of illegal activity in the borderlands is to eschew an ethnography of exception in favour of an ethnography of the WeberThis section presents the third volume of Max Weber's fundamental work Economy and Society which has been translated into Russian for the first time. The third volume includes two works devoted to the sociology of law. The first, 'The Economy and Laws', discusses differences between sociological and juridical approaches to studies of social processes. It describes peculiarities of normative power arenas orders at different levels and demonstrates how they influence the economy. The second, 'Economy and Law' 'Sociology of Law', reviews the evolution of law orders primarily, the three "greatest systems of law" including Roman Law, Anglo-American Law, and European Continental Law in the context of changes in the organization of economy and structures of dominancy. Law is considered an influential factor of the rationalization of social life which in turn is affected by a rationalized economy and social management. The Journal of Economic Sociology here publishes an excerpt from the chapter 'Law, Convention and Custom' in this third volume, which shows the role of the habitual in the formation of law; explains the importance of intuition and empathy for the emergence of new orders; and discusses the changeable borders between law, convention and custom. The translation is edited by Leonid Ionin and the chapter is published with the permission of HSE Publishing House. © 2018 National Research University Higher School of Economics. All rights reserved. Daan P. Van UhmIn this book the author examines the illegal wildlife trade from multiple perspectives the historical context, the impact on the environment, the scope of the problem internationally, the sociocultural demand for illegal products, the legal efforts to combat it, and several case studies from inside the trade. The illegal wildlife trade has become a global criminal enterprise, following in the footsteps of drugs and weapons. Beyond the environmental impact, financial profits from the illegal wildlife trade often fund organized crime groups and violent gangs that threaten public safety and security in myriad ways. This innovative volume covers several key questions surrounding the wildlife trade why is there a demand for illegal wildlife products, which actors are involved in the trade, how is the business organized, and what are the harmful consequences. The author performed ethnographic fieldwork in three key markets Russia, Morocco, and China, and has constructed a detailed picture of how the wildlife trade operates in these areas. Conversations with informants directly involved in the illegal business ensure unique insights into this lively black market. In the course of his journey the author follows the route of the illegal wildlife trade from poor poaching areas to rich business districts where corrupt officials, legally registered companies, wildlife farms and sophisticated criminal organizations all have a share. A fascinating look inside the world of poachers, smugglers and traders. John F. MccarthyThis paper is concerned with the question why has the pervasive illegality in natural resource sectors persisted for so long in the face of so many campaigns, donor initiatives and legal changes aimed at its eradication? While these interventions continue to meet with limited success, the illegality narrative continues to pose the problem in the same terms. Accordingly, here I will consider a number of uncomfortable questions what purpose does the policy narrative of illegality serve? Does it perhaps support particular political projects? What role does it play in justifying particular interventions? How does it help envision a rational-legal, bureaucratic state even when any study of illegality in this sector points to its very absence? If it does this, does it not conceal as much as it reveals? How might we reframe the legality/ illegality opposition in order to more usefully understand the logic of illegality?Erwiza ErmanIllegal logging, fishing and mining business was rampant in Indonesia since the 1997 monetary and economic crises and political transition from New Order regime to the Reform Cabinet. The illegal economic activities have caused enormous loss of state revenue. If the state had suffered losses of up to billions of rupiah, the question arises why had the state accepted this so far? Why had state control never been effective in its effort to eliminate this illegal business? Had there been some sort of a 'concubine relationship' between state actors and business people, making illegal business difficult to be prevented? By analyzing the political economy of the tin mining business in Bangka island within a changing legal framework, the boundaries between legal and illegal become blurred. Illegal economy is also embedded in local economic history and shows its complexity since regional autonomy. The problem of legal and illegal economy is not merely a problem of labeling certain transactions registered and unregistered, but more complicated, because it concerns power relations and power contention between and within state actors and society in their efforts to gain access to tin resources. By analyzing illegal economic practices in the changing state regimes, this article also questions the positive correlation between the black market and weak state control that William Reno demonstrates in the case of Sierra Leone 1995.Untukpertama kalinya industri produk sarang burung walet Indonesia mampu melebarkan sayap bisnis dan outbond investment-nya, di tengah kerasnya persaingan bisnis di sektor produk industri makanan dan minuman dari sarang burung walet ini di pasar Tiongkok. Yantyty Group bersama PT Anugerah Citra Walet Indonesia (ACWI) merupakan perusahaan yang mensuplai kebutuhan bahan baku sarang burung waletParaahli ini meneliti setidaknya 9.700 spesies burung yang memang masih dipastikan hidup. Data-data ini juga mereka ambil dari pemerhati burung di seluruh dunia secara daring di e-bird dalam satu dekade belakangan. Nah, dari data inilah kemudian dianalisis dengan berdasarkan golongan jenis yang sama sehingga hasilnya bisa diharapkan akurat. MenurutBanun, potensi besar penjualan sarang burung walet ada di Tiongkok. Banun mengklaim, Indonesia telah menguasai 70 persen segmentasi pasar sarang burung walet di Tiongkok. Tren ekspor pun meningkat. Indonesia telah mengekspor sarang burung walet sebanyak 14.274 kg atau 14 ton pada 2015. Ada peningkatan penjualan di 2016, yakni 22.538 kg Xde8FL.